Suku di Pedalaman Indonesia ini Gemar Memenggal dan Mengoleksi Kepala Manusia


InfovideoFB - Marco Polo, avonturir dari Italia, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya di Perlak, bagian utara Sumatra, pada 1292. Di sana, dia melihat penduduk yang tinggal di pegunungan memakan daging manusia. Sangat berlawanan dengan penduduk yang tinggal di kota Perlak, di mana masyarakatnya lebih beradab, bahkan setelah berhubungan dengan pedagang-pedagang Islam, mereka berpindah dari menyembah berhala menjadi pengikut ajaran Muhammad. Dia menuliskan itu dalam catatan perjalanannya. Dia tahu catatannya akan mengejutkan, dan mungkin tak dipercaya banyak orang. Karena itu, dia sampai bersumpah untuk meyakinkan pembacanya.


Selang lima bulan kemudian, Marco Polo menuju Pidie, daerah utara Sumatra lainnya. Di tempat ini, dia mendapati satu keluarga menyantap seluruh badan seorang anggota keluarganya sendiri yang mati karena sakit. “Saya yakinkan Anda bahwa mereka bahkan menyantap semua sumsum dalam tulang-tulang orang itu,” tulis Marco Polo dalam “Para Kanibal dan Raja-Raja: Sumatera Utara Pada 1920-an” dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe karya Anthony Reid.

Berbeda dari Marco Polo di Sumatra, dalam naskah Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) Buku 323, diceritakan sebuah suku pemburu kepala di Wu-long-li-dan, pedalaman Banjarmasin. Suku pemburu kepala itu disebut orang Beaju –Be-oa-jiu dalam lafal Hokkian (Fujian) selatan–, sebuah suku besar orang Dayak di pedalaman. Mereka berkeliaran saat malam hari untuk memenggal dan mengoleksi kepala manusia. “Kepala ini mereka bawa lari dan dihiasi dengan emas. Para pedagang sangat takut terhadap mereka,” demikian dikutip W.P. Groeneveldt dalam Nusantara Dalam Catatan Tionghoa.

Kala itu, kisah perburuan kepala manusia di wilayah pedalaman tengah dan timur Nusantara telah tersebar luas di kalangan penjelajah dari mancanegara, serupa dengan kisah kanibalisme. Tapi minat mereka terhadap Nusantara tak pernah surut. Kapal-kapal dari pelabuhan penting di Eropa tetap berlayar menuju Nusantara untuk berdagang. Perlahan mereka menjelajah kepulauan Nusantara hingga ke pedalamannya dan bertemu dengan suku pemburu kepala manusia.

Maret 1648. Perang antarkampung telah berlangsung berhari-hari di Seram. Perang itu melibatkan orang-orang kampung di wilayah pantai dan orang gunung yang disebut Alifuru. Meski tak diketahui secara pasti, VOC (Vereenigde Oostindische Campaignie) melaporkan banyak korban tewas. Korban dari pihak wilayah pantai ditemukan tanpa kepala. Gubernur Ambon Robert Padtbrugge mengirim satu tim untuk mengusahakan perdamaian. Selain itu, dia meminta tim untuk meneliti adat berburu kepala orang Alifuru.

Tim kembali ke Ambon tanpa hasil. Perang tetap berkobar. Dan mereka tak bisa menjelaskan secara pasti mengapa orang Alifuru memburu dan mengoleksi kepala musuhnya. “Di hadapan gubernur, tim itu melaporkan hasil penelitiannya mengenai kepercayaan orang Alifuru. Meski mengaku telah bekerja dengan baik, mereka tak berhasil menjelaskannya secara gamblang karena orang Alifuru sangat klenik. Mereka tak bisa memahaminya,” tulis Gerrit J. Knaap dalam “The Saniri Tiga Air (Seram)”, Jurnal KITLV Vol. 149 No. 2 (1993).

Tim hanya mampu menjelaskan bahwa adat memburu kepala musuh merupakan bagian tak terpisahkan dari ritus hidup orang Alifuru tanpa diketahui kapan mulanya. Bagi orang Alifuru, memburu kepala musuh telah menempati posisi penting dalam kehidupan sosial dan kepercayaannya. Anehnya, adat itu tak mereka lakukan terhadap orang asing, baik Eropa maupun wilayah Nusantara lainnya. Penerimaan mereka terhadap orang asing sangat baik. Bahkan, mereka bersedia merundingkan perdamaian melalui perantara VOC meski usaha itu akhirnya gagal.


Sementara itu, di Sulawesi, perburuan kepala diketahui telah berlangsung sebelum kedatangan orang Belanda. Orang Toraja Bare’e yang bermukim di Sulawesi Tengah selalu mengambil kepala musuhnya dalam tiap peperangan mereka, selama memungkinkan. Mereka harus membunuh dan memotong kepala musuhnya dengan cepat agar musuh tak mengalami penderitaan yang lama.

Kepala musuh kemudian dibawa ke kampung mereka. Upacara pun dilakukan. “Kepala diperlukan sebagai akhir masa berperang dan penahbisan di kuil sebagai tanda seseorang telah menjadi dewasa dan berani,” tulis R.E. Downs dalam “Head-Hunting in Indonesia”, Jurnal KITLV Vol. 111 No. 1 (1995).

Perburuan kepala di Sulawesi masih berlangsung hingga kedatangan orang Eropa. Alfred Russel Wallace, naturalis tersohor asal Inggris, yang mengunjungi Manado pada 10 Juni 1859, mendapatkan cerita itu langsung dari penduduk lokal (Minahasa). Kepala manusia dipakai untuk menghiasi makam dan rumah. “Mereka berburu kepala manusia layaknya suku Dayak di Kalimantan... Ketika seorang kepala suku meninggal, dua potong kepala manusia yang baru dipenggal digunakan sebagai penghias makamnya... Tengkorak manusia merupakan hiasan yang paling disukai untuk rumah kepala suku,” tulis Wallace dalam catatannya, dimuat dalam Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544-1992 karya George Miller.


Walaupun Wallace hidup di tengah penduduk pemburu kepala, Wallace merasa tak terancam. Bahkan, dia justru terkesan dengan karakter mental orang Minahasa. “Mereka juga memiliki karakter mental dan moral yang unik,” tulis Wallace. “Pembawaan mereka tenang dan halus.”

Adat berburu kepala tak selamanya dipertahankan oleh suku-suku pedalaman. Di Borneo misalnya, sebuah perjanjian antarsuku dibuat untuk menghentikan saling bunuh (habunu), memenggal kepala (hakayau), dan memperbudak (hajipen). Perjanjian pada 1894 itu termashyur dengan nama Rapat Damai Tumbang Anoi. Sebelumnya, beberapa suku di Borneo terkenal sebagai pemburu kepala musuh. Seorang penulis berkebangsaan Norwegia mengukuhkan citra itu melalui bukunya yang terbit pada 1881, The Head-Hunters of Borneo. Dalam bukunya ini, Carl Bock menuliskan suku-suku itu berburu kepala dengan mandau, tombak, dan perisai. Setelah mendapatkan kepala musuh, seseorang berhak mendapatkan tato simbol kedewasaan.

Suku-suku di Borneo memiliki beragam alasan berburu kepala musuh seperti balas dendam, tanda kekuatan dan kebanggaan, pemurnian jiwa musuh, atau bentuk pertahanan diri. Ini karena Borneo dihuni oleh beragam suku sehingga tiap suku memiliki pandangan yang berbeda mengenai ngayau (memburu kepala). “Saya yakin tak ada satu pun analisis yang bisa menjelaskan dengan tepat praktik dan makna-makna perburuan kepala...,” tulis Yekti Maunati dalam Identitas Dayak. “Di kalangan orang-orang Dayak sendiri terdapat berbagai kepercayaan dan mitologi.”

Sumber Tulisan: Historia.id