Raja-raja Asal Indonesia ini Kejam! Mereka Tak Segan Membunuh Ulama dan Memperkosaa Warganya.. Baca Kisah Mereka!


InfovideoFB - Raja-raja dari Indonesia ini melakukan kekejaman, mulai dari minta disembah oleh kaum brahmana, sampai membantai ribuan ulama.

SEJARAH kerajaan di Nusantara tidak hanya berisi catatan soal kebesaran dan jatuh bangunnya raja-raja mereka. Tidak semua raja-raja tersebut mampu berlaku adil dan bijaksana.

Kekuasaan absolut menjadi ajang mempertunjukkan kelaliman.

Berikut ini raja-raja dan kekejamannya yang pernah tercatat dalam sejarah Nusantara.



1. Amangkurat I, Raja Mataram Yang Lebih Kejam Daripada Hitler Dan Stalin

Jika Anda berpikir bahwa Hitler itu kejamnya luar biasa, maka Anda akan bergidik ngeri jika mengetahui ‘sepak terjang’ Amangkurat I, raja dari kerajaan Mataram ini. Pasalnya demi memuluskan kekuasaannya, ia tega sekali membunuh semua orang yang ia ingin bunuh, termasuk istri dan keluarganya sendiri.

Raja tiran ini melumuri tangannya dengan darah ribuan ulama, saudara-saudaranya, pejabat bawahannya, bahkan istri-istri dan anak-anak. Tak heran bila kemudian muncul barisan sakit hati di kalangan pendukung kerajaan: para bangsawan istana, pembesar negara, bangsawan di daerah taklukan, serta kaum agamawan. Ia tidak ragu menghukum mati setiap orang yang ingin dibunuhnya, di depan umum!

Tidak heran jika semasa hidup, Amangkurat I sangat paranoid dan tidak mau keluar tanpa pengawasan ekstra ketat. Namun segala kejahatannya runtuh saat VOC menjebaknya dan pemberontakan Trunajaya dilancarkan. Amangkurat I diserang dari berbagai sisi, akhirnya kalah dan meninggal dunia.

2. Kertajaya Memaksa Brahmana untuk Menyembahnya

Raja Kediri Kertajaya alias Dangdang Gendis (memerintah 1194-1222) menyatakan diri sebagai dewa dan memerintahkan rakyat dan para pemuka agama menyembahnya. Kelakuannya tak seperti leluhurnya, Airlangga, pendiri kerajaan Kahuripan, yang terkenal karena toleransi beragama antara Budha dan Hindu. Tak terima kelaliman Kertajaya, banyak kaum brahmana melarikan diri.

“Para brahmana yang berpengaruh lari ke timur untuk beraliansi dengan Ken Arok, perebut tahta dari Janggala,” tulis Ann R. Kinney dalam Worshipping Siva and Buddha: The Temple Art of East Java. Perang besar terjadi pada 1222, pasukan Kertajaya kalah. Ken Arok lalu mendirikan Kerajaan Singasari sembari meneruskan tradisi toleransi beragama Kediri.

3. Kertanegara Mengiris Telinga Duta Mongol

Tahun 1289, datanglah rombongan utusan Kubilai Khan dari Tiongkok ke tanah Jawa untuk menemui raja Singasari, Kertanegara (memerintah 1268-1292). Utusan itu meminta upeti dari Jawa sebagai bukti tunduk. Salah satu dari mereka, Meng Khi, menghadap raja.

Sebagai jawabannya kepada Kubilai Khan, Kertanegara memotong telinga dan hidung Meng Khi dan mengusir rombongan itu pulang. Tak terima, pada 1292 Kubilai Khan mengirim ekspedisi ke Jawa dengan seribu kapal dan 20.000 prajurit untuk menghukum Singasari. Namun Kertanegara keburu dibunuh oleh bawahannya dari Kediri, Jayakatwang.

4. La Pateddungi Memperkosaa Rakyatnya

Kerajaan Wajo adalah kerajaan orang-orang Bugis yang berdiri pada pertengahan abad ke-15 di Sulawesi Selatan. Tiga kelompok besar di Wajo, Battempola, Talo’tenreng, dan Tua’ mengadakan pertemuan untuk memilih raja mereka, yang kemudian diberi gelar Batara Wajo.

Batara Wajo I (La Tenribali) dan Batara Wajo II (La Mataesso) memerintah kerajaan dengan baik, tetapi tidak dengan Batara Wajo III, La Pateddungi (1466-1469). La Pateddungi terkenal suka melakukan perbuatan biadab. Dia senang berkeliling kerajaan dan mengambil istri dan anak perempuan rakyatnya untuk diperkosaa.

“La Pateddungi to Samallangik, dilukiskan sebagai raja yang kejam, gemar memperkosaa istri dan anak gadis rakyatnya, tidak mau mendengar nasihat, dan oleh karena itu dia dipecat, diusir keluar Wajo lalu kemudian dibunuh,” tulis Edi Sedyawati dalam Sejarah Indonesia: Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan Asing.

4. Iskandar Muda dan Hukuman Kerasnya

Augustin de Beaulieu, pelaut Prancis yang sempat menetap di Aceh pada masa Iskandar Muda (memerintah 1607-1636), mengungkapkan kekejaman Sultan Iskandar Muda.

“Sang penguasa ini memang amat kejam karena saya berani bilang bahwa sejak saya berada di sana tak sehari pun lewat tanpa dia membunuh seseorang dan terkadang beberapa orang, dan dia tidak memberitahu siapa pun mengenai rencananya dan juga tidak minta saran orang lain,” kata Augustin de Beaulieu, dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis: Dari Abad XVI Sampai Dengan Abad XX karya Bernard Dorleans.

Sultan Iskandar Muda menerapkan hukuman yang keras kepada para penjahat di Aceh untuk menegakkan wibawa dan kuasa raja yang di masa-masa sebelumnya kerap dikendalikan oleh kaum uleebalang (bangsawan). Mulai dari pemotongan anggota tubuh seperti telinga, bibir, hidung, kaki dan tangan; diinjak gajah sampai mati; menjepit dengan dua batang kayu yang dibelah; menumbuk kepala orang, dan lain-lain.

Beberapa dokumen dari sumber-sumber asing seperti yang tercantum di Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) karya Denys Lombard bahkan menyebutkan Iskandar Muda pernah membunuh bayi dengan cara menghantamnya ke dinding karena bayi itu tak berhenti menangis. Dan bagaimana dia senang mandi darah para terhukum mati untuk melindungi diri dari penyakit.

Meski begitu, watak kejamnya ini diimbangi dengan sistem pemerintahannya yang efektif. Aceh menjadi kekuatan dominan di Sumatera dan warisan kekuatan militer besar yang dihimpunnya menjadi penantang utama laju dominasi Portugis di Semenanjung Malaya selama abad ke-17.

5. Sultan Agung Memenggal Prajuritnya

Raja Mataram, Sultan Agung (memerintah 1613-1645) memutuskan untuk menyerang Batavia pada 1628 sebagai bagian dari rencana politik ekspansionisnya di Jawa. Pasukan Jawa berkali-kali menyerang benteng dan berulang kali juga mereka gagal. Selama 30 hari ribuan prajurit Jawa juga mencoba membendung sungai Ciliwung untuk membuat pasukan Belanda kehausan, usaha ini juga gagal. Dalam sebuah pertempuran besar di dekat benteng, pasukan Belanda berhasil mengalahkan pasukan Mataram.

Pasukan Mataram akhirnya dipukul mundur, namun hanya setelah Sultan Agung mengirimkan sepasukan algojonya untuk memenggal kepala kedua panglima pemimpin penyerbuan, Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja, beserta prajuritnya karena telah gagal merebut Batavia.

“VOC menemukan 744 mayat prajurit Jawa yang tidak dikuburkan, beberapa di antaranya tanpa kepala,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.

Serangan kedua terjadi pada 1629, kali ini dipimpin Dipati Ukur. Sekali lagi, pasukan Mataram dipukul mundur. Belajar dari pengalaman kegagalan panglima sebelumnya, Dipati Ukur akhirnya memutuskan untuk memberontak karena tahu hukuman penggal dari sang sultan tengah menantinya.

Sumber Tulisan: historia.id