[Video] Baca dan dan Tonton Videonya Agar Kamu Menjadi Umat Muslim yang Selalu Bersyukur akan Rezeki yang Diberikan Allah. TOLONG BAGIKAN VIDEO INI KE TEMAN, KERABAT, DAN KELUARGA ANDA...


InfovideoFB - Umat Islam sangat familiar dengan istilah "Rezeki ada di tangan Allah." Namun zaman sekarang sangat nampak bahwa pemikiran “Rezeki di tangan Allah” telah mengalami pergeseran sehingga kehilangan maknanya. Pemikiran tersebut menjadi kosong dan bahkan tidak menjadi keyakinan bagi kebanyakan umat Islam saat ini.

Dengan hilangnya makna pemikiran tersebut, kemudian berkembang khurafat dan takhayul dalam benak sebagian umat Islam. Pemikiran khurafat dan takhayul itu, antara lain:

- Rizki tergantung pada usaha manusia, sehingga usaha manusialah yang menentukan rezeki.

- Rizki itu tergantung pada akal dan kedudukan, sehingga siapa yang lebih pandai, maka sudah pasti rezekinya akan lebih banyak, demikian juga seorang atasan lebih banyak rizkinya dibanding bawahan.

- Rizki adalah materi yang dapat dihitung secara matematika, sehingga ketika jumlahnya berkurang, di satu sisi jumlah pembaginya bertambah, maka rezekinya akan berkurang.

Itulah pemikiran khurafat dan takhayul yang berkembang dalam benak kaum muslimin saat ini. Akibatnya, umat Islam saat ini menjadi umat yang materialistik dan cenderung menjadi orang yang bakhil, takut menentang kezaliman dan tidak berani amar ma'ruf nahi munkar karena khawatir akan kehilangan kedudukan dan hartanya.



Hakikat Rezeki Dalam Islam
Mengenai hakikat rizki harus difahami berdasarkan realitas makna lafaz dan syara’nya, baik yang diambil berdasarkan pengertian bahasa maupun syara’. Lafadz  ar-Rizq, dalam bahasa Arab berasal dari  Razaqa-Yarzuqu-Rizq yang berarti: A’tha-Yu’thiI’tha’ (pemberian).

Jadi, secara etimologis ar-Rizq berarti pemberian.

Adapun menurut terminologis/istilah,"rizki adalah Apa saja yang bisa dikuasai (diperoleh) oleh makhluk, baik yang bisa dimanfaatkan atau tidak."

Definisi “Apa saja yang bisa dikuasai (diperoleh)”  meliputi semua bentuk rizki;

    Halal & Haram 
    Positif & Negatif 
    Sehat & Sakit 
    Cerdas & Tidak cerdas 
    Cantik &  Jelek, dan sebagainya

Semuanya merupakan rizki.

Definisi ini menjelaskan, bahwa rizki berbeda dengan hak milik. Sebab, hak milik selalu memperhatikan cara, yaitu  syar’i atau  ghayr syar’i;

Jika  caranya  syar’i,  maka  hak miliknya halal
Jika ghayr syar’i, maka hak miliknya tidak  halal.

Tetapi, dua-duanya tetap disebut rizki. Definisi ini juga meliputi rizki yang diperoleh secara mutlak, baik tanpa usaha, seperti pemberian, waris, diyat, ataupun karena usaha, seperti bekerja, menjadi broker, atau yang lain, termasuk kerja yang diharamkan, seperti mencuri, merampok dan sebagainya. Semuanya ini bisa mendatangkan rizki meskipun kemudian ada yang halal dan haram.

Mengenai definisi "baik yang bisa dimanfaatkan maupun tidak” meliputi semua  bentuk rizki, baik yang positif maupun yang negatif, sekaligus menafikan rizki yang dianggap hanya sesuatu yang bisa dimanfaatkan saja.

Inilah makna pemikiran mengenai rizki, yaitu apa saja yang diberikan Allah SWT yang diperoleh oleh manusia.

Sekarang kita bicara dalil.
Dalam al-Qur'an, Allah SWT juga dinyatakan sebagai sebab bagi rizki manusia.

Allah SWT. berfirman :

“Dan di langit ada (sebab-sebab) rizki kamu, juga apa saja yang telah dijanjikan kepada kalian. Maka, demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi)  seperti  perkataan  yang  kamu  ucapkan.”  (Q.s. Adh-Dhâriyât; 22-23).

Belum pernah ada satu ayat pun yang menggunakan ta’kîd (penegasan) yang sedemikian kuat melebihi ayat rizki ini.

Pertama, penegasan kebenaran, bahwa rizki di tangan  Allah  (di  langit)  dan sebabnya hanya Allah, dengan menggunakan qasam (sumpah), yaitu Wa Rabbi as-Samâ’i Wa al-Ardh (demi Tuhan langit dan bumi).

Kedua, penegasan dengan menggunakan huruf ta’kîd, yaitu Innahu, yang berarti “sesungguhnya rizki”.

Ketiga, penegasan yang menggunakan huruf lam at-ta’kîd, yaitu Lahaqqun, yang artinya “benar-benar akan terjadi”.

Keempat, penegasan dengan menggunakan huruf ta’kîd, yaitu Innakum, yang artinya “sesungguhnya kamu”.

Kelima, penegasan  dengan menggunakan  lafadz: Tanthiqûn (kamu berbicara) dan bukan yang lain, yaitu antara lafadz: Tanthiqûn dengan Rizq disatukan dalam satu konteks kalimat, yang menunjukkan bahwa antara rizki dengan bicara tersebut mempunyai tempat yang sama, yang sekaligus menunjukkan hubungan antara rizki dengan mulut. Ini artinya, bahwa “Kalian tidak bisa berbicara dengan menggunakan mulut orang lain, selain mulut  kalian sendiri, maka kalian juga tidak bisa memakan rizki orang lain, selain rizki kalian sendiri.”

Karena itu, setiap makhluk yang diberikan kehidupan oleh Allah pasti  telah  Dia tetapkan rizkinya, sebagaimana yang dijelaskan olehAllah SWT.:

“Dan  tidak  ada  satupun  hewan  melata  di  muka  bumi  ini,  kecuali  rizkinya  telah ditetapkan oleh Allah. Dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (Q.s. Hûd: 6).

Ayat ini secara tegas memaparkan, bahwa tidak satu pun makhluk yang diberi kehidupan oleh Allah, kemudian dibiarkan hidup tanpa jaminan rizki dari-Nya. Sebab, siapakah yang menjamin rezki manusia? Tentu bukan manusia, sebaliknya Allah. Maka, ketika ada orang tua yang takut keturunannya lahir tanpa  jaminan rizki, kemudian mereka membunuh keturunannya karena takut akan kelaparan, dengan tegas ketakutan tersebut dibantah oleh Allah:

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. ” (Q.s. Al-Isrâ’: 31).

“...Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan juga kepada mereka...”  (Q.s. Al-An’âm: 151).

Melalui ayat ini, Allah SWT. ingin menjelaskan, bahwa rizki itu tidak bisa dihitung dengan angka matematika. Maka, ketika seseorang mempunyai gaji Rp.2,000,000 (dua juta rupiah)  dimakan seorang, akan  berubah  komposisinya ketika masih single, dengan ketika telah menikah, dimana angka di atas sebelumnya dibagi satu, menjadi dua, suami-isteri, dan jika mempunyai satu anak, akan berkurang  lagi menjadi  Rp.  666,000  per orang. Akhirnya muncul ketakutan dan rasa takut, karena jumlahnya berkurang. Akibatnya muncul  rasa  takut  menikah, mempunyai anak dan ketakutan-ketakutan yang lain. Inilah yang dibantah oleh Allah  SWT.  seakan ingin menyatakan: “Bukan kamu yang  menjamin rizki mereka, melainkan Akulah Yang menjamin  rizki mereka, juga rizki kamu.”Inilah yang dijanjikan oleh Allah SWT. Jaminan rizki tersebut telah diberikan  oleh Allah SWT. melalui orang tuanya atau melalui orang lain.

Ayat-ayat dan makna pemikiran rizki di atas memberikan gambaran, bahwa “rizki  di tangan Allah” adalah  pemikiran yang menjadi keyakinan dan wajib dimiliki oleh setiap orang Islam. Karena pemikiran tersebut  memang nyata adanya dan tidak kontradiksi dengan realitasnya. Orang yang mengingkarinya bisa jatuh kepada kekufuran.

Keyakinan mengenai “rizki di tangan Allah” tersebut meliputi keyakinan mengenai segala sesuatu yang diberikan oleh Allah SWT. baik pemberian dalam bentuk materi, maupun non materi; baik berupa gaji ataupun bukan. Karena itu, bisa saja gaji seseorang kecil, tetapi rizkinya besar. Dengan  demikian, rizki  tidak tergantung pada jabatan dan kedudukan, dan tidak tergantung pada akal, ilmu  ataupun yang lain. Karena Allah telah memberikan rizki tersebut secara mutlak kepada siapapun. Tepat sekali  ungkapan penyair yang menyatakan:

Kalaulah rizki tergantung pada akal,
Tentu binatang-binatang telah binasa karena kebodohannya.


Jadi, rizki tersebut semuanya tergantung pada irâdah dan masyî’ah Allah SWT. saja, tetapi bukan berarti menafikan usaha manusia. Sebab, makna pemikiran “rizki di tangan Allah” adalah masalah keyakinan yang wajib dimiliki oleh setiap muslim. Sedangkan masalah usaha agar “rizki di tangan Allah” tersebut sampai kepada manusia, adalah masalah hukum syara’. Dan ini merupakan dua wilayah yang berbeda. Yaitu, wilayah hati dan fisik. Karena itulah, maka usaha untuk memperoleh rizki hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim. Allah SWT. berfirman:

“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah anugerah Allah.” (Q.s  Al Jumu’ah: 10)

Meskipun usaha merupakan kewajiban bagi tiap muslim untuk mendapatkan rizki agar sampai kepadanya, tetapi usaha ini bukanlah sebab yang memastikan datangnya rizki. Usaha hanyalah faktor-faktor kondisional (al-hâlah) yang harus diusahakan agar “rizki di tangan Allah” tersebut datang. Artinya, jika seseorang bekerja, belum tentu mendapatkan rizki. Jika demikian, siapa yang menjadi sebab rizki? Tentu hanya Allah SWT. Firman Allah SWT.:

“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rizki kalian, dan terdapat apa yang telah dijanjikan kepada kalian.” (Q.s. Adh-Dhâriyât: 22).

Sebahagian ulama’ ada yang mengaitkan sebab rizki tersebut dengan tawakkal kepada Allah SWT. Ini artinya, bahwa sebab rizki ini adalah Allah SWT. Karena itu yang menentukan banyak dan sedikitnya rizki adalah keyakinan seseorang kepada Allah sebagai ar-Razzâq (Maha Pemberi Rizki), sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits Nabi saw.:

“Jika kalian bertawakkal dengan tawakkal yang sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian, sebagaimana Dia telah memberi rizki kepada burung yang berangkat (pagi) dengan perut kosong, dan pulang dengan (perut) kenyang.” (H.r. At-Tirmidzi dan Ahmad).

Jadi, meskipun rizki tersebut ditentukan oleh Allah, dan usaha manusia tidak mempengaruhi besar dan kecilnya rizki, tetapi usaha tetap merupakan faktor yang menentukan halal dan haramnya rizki yang diberikan oleh Allah SWT. Karena itu, mengapa ada perbedaan antara rizki dengan pemilikan rizki. Setiap muslim wajib berusaha mencari rizki dengan usaha yang bisa mengantarkannya pada hasil yang halal. Meskipun hakikat rizki yang halal dan haram tersebut sama-sama dari Allah SWT., tetapi status halal dan haram tersebut adalah manusialah yang menentukan. Yaitu dengan mendapatkan rizki berdasarkan pemilikan yang sahih berdasarkan ketentuan Islam.

Karena itu, manusia akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah karena cara memperolehi rizkinya; apakah bertentangan dengan cara yang telah ditetapkan oleh Allah atau tidak? Demikian halnya pertanggungjawaban atas pemanfaatan rizki yang diberikan kepada manusia; apakah untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah atau tidak? Sebab, semuanya ini merupakan wilayah aktivitas manusia yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Hanya manusia tidak akan diminta pertanggungjawaban karena sedikit atau banyaknya, atau karena baik dan buruknya, atau karena positif dan negatifnya rizki yang diberikan kepadanya. Sebab, masalah ini merupakan wilayah Allah, dan bukannya wilayah manusia.

Demikian penjelasan mengenai hakikat rezeki dalam Islam semoga dapat menjadi manfaat bagi kita umat Islam. Inilah yanga perlu kita pahami terlebih dahulu sebelum melaksanakan amalan pembuka pintu rezeki menurut Islam.